Sabtu, 12 Desember 2015

ma'rifat

Tidak ada komentar:
MENUJU PENGETAHUAN TUHAN
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Ilmu Hadist
Dosen pengampu: M. Mu’tashimbillah, MA
MAKALAH





Disusun oleh:
Umi Kulsum (933600514)

PROGRAM STUDI AKHLAK TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2015


A.    Pendahuluan
Tasawuf merupakan ilmu untuk membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan untuk mencapai ihsan yakni merasakan kedekatan dengan Allah dalam kehidupan sehari-harinya dalam menempuh kebahagiaan dunia akhirat.
Di dalam tasawuf sendiri terdapat beberapa maqam atau kedudukan yang dimiliki seorang salek, tingkatan pertama adalah syari’at, yang merupakan dasar-dasar dari hukum Islam, pada tingkatan yang kedua adalah tarekat ini merupakan ilmu tentang cara bagamana menuju pada kedekatan diri dengan Allah, kemudian tingkatan yang ketiga adalah hakikat dan terakhir ma’rifah. Perbadaan antara hakikat dan ma’firat adalah hakikat diri seseorang yang sudah dekat dengan Allah sedang ma’rifat adalah rasa kedekatan itu sendiri.
Ma’rifat merupakan tingkatan tertinggi dalam tangga Tasawuf. Dimana seseorang sudah benar-benar mengetahui rahasia Tuhannya dengan hati kebersihan sanubarinya.
Setiap seorang yang belajar tasawuf, tujuan utamanya adalah pembersihan diri agar hatinya dapat  mengetahui Tuhannya atau berma’rifah. Bagaimana ma’rifat itu bisa dilakukan, maka akan dibahas dalam makalah berikut ini.











B.     Hadist dan Terjemahannya
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلقت فتعرفت اليهم فعرفو ني
” Aku(Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi(Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. maka mereka itu mengenal Aku.” (Hadist Qudsi)[1]

C.    Kritik Hadist
Hadist tersebut merupakan Hadist Qudsi yaitu ma’nanya berasal dari Allah dan lafaldnya dari Nabi Muhammad. Hadis ini tidak semuanya diberitahukan kepada para sahabat, karena canghkupannya yang tidak semua sahabat dapat menerimanya.
Pada hadist diatas, memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah atau pengetahuan tentang Tuhan dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

D.    Fiqhul Hadist
A.    Pengertian,  tujuan, kedudukan Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah barasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yaitu pengethuan atau pengalaman.[2]
Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf,maka istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam taswuf.[3]
Ma’rifat berarti mengerti, mengetahui, memahami, menyadari, atau mengenal segala objek yang akan dikenal, objek apa saja.[4]
Beberapa ulama tasawuf mendefinisikan ma’rifah sebagai berikut:
a.       Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf mengatakan
المعرفة جزم القلب بوا لواجب ا لموجود متصفا بسا ئر الكلما ت
“ ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala ksempurnaanya.”
b.      Asy-Syekh  Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiry mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samirry yang mengatakan:
المعرفة طلوع الحق, وهو القلب بموا صلة الانوار
” ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Illahi.”
c.       Imam Al-Qussyairy mengemukakan pendapat  Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah mengatakan:
المعرفة يو جب السكنة في القلب كما ان العلم يو جب السكنو , فمن ازدادت معرفته ازدادت سكينته
“ ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”[5]
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan meggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.[6]
Ma’rifah merupakan tingkatan atau maqam tertinggi, dimana maqam secara literatur berarti berdiri, stasiun, tempat lokasi. Dan secara terminologis adalah kedudukan spiritual.[7]
Ma’rifah adalah sejenis pengetahuan dengan mana para suri menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. ma’rifah berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu.[8]
Seperti indra menangkap objeknya secaara langsung, demikian juga hati atau intuisi menangkap objeknya secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Klau objek indra adalah benda-benda indrawi, objek-objek intuisi adalah entits-entitas spiritual. Dalam kedua modus pengetahuan ini, menusia mengalami objek-objeknya secara langsung, dan karena itu, ma’rifah disebut sebagai ilmu eksperiensial( dzauqi).[9]
Ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam Tasawuf. Dimana tasawuf menurut Ibnu Ajibah merupakan disiplin ilmu yang mengajarkan tentang cara beribadah di hadapan Tuhan, membersihkan bating dari sifat-sifat kehinaan dan menghiasinya dengan sifat-sifat kemuliaan. Awalnya adalah ilmu, pertegahannya adalah amaldan akhirnya adalah karunia kemampuan besar. [10]Harun Nasution mengatakan ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati-sanubari dapat melihat tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1)      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbka, mata kepalanya akan trtutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2)      Ma’rifah adalah cerminkalau seorang rif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3)      Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4)      Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanyaakan mati karena tak tahan melihat kecantikan dan keindahannya dan semua cahaya akan menjadi gelap diasamping cahaya yang gilang gemilang.[11]

B.     Alat untuk Mencapai Ma’rifah
Alat Ma’rifat menggunakan Rasio atau akal pikiran(aqly)dan dibantu dengan wahyu Allah (naqly), serta ditambah dengan pejelasan As-sunnah Nabi Saw.dari proses penggunaan alat tersebut, ma’rifat akan menemukan kebearan hakiki terhdap suatu objek yang sudah dianalisa.[12]
Namun jika kita merujuk pada buku dari H Musthofa yang berjudul Akhlak Tasawuf, jalan untuk mencapai ma’rifah pendapat yang pertama adalah sir. Dan pendapat  yang kedua menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.      Qalb (القلب)
Fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan
2.      Ruh (الروح)
Fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan
3.      Sir( السر)
Fungsinya untuk melihat Tuhan
Keadaan sir lebih halus dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih ]halus dari qalb. Qalb disamping alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan aql ialah kalau aql tidak dapat menerima tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[13] Dan ilmu ma’rifah atau ilmu sejati bukanlah didapat semata dari aql namun ma’rifah yang sebenarnya adalah mengenai Tuhan.[14]
Oleh karena itu jalan mudah untuk mengkaji ilmu ma’rifat khususnya untuk bisa mengenal Allah maka wajib ditempuh lebih dahulu dengan mengkaji tentang “mengenal diri sendiri,”sesuai dengan fatma ulama:
من عر ف نقسه فقد عرف ربه و من عرف ربه فقد جهل نفسه
“Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya, dan barang siapa yang mengenal Tuhan-nya, maka lenyap (fana) dirinya.”
Pandangan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan tentang segala sesuatu bergantung pada pengetahuan diri sendiri.[15]
Ahli hikmah akan memperoleh kenikmatan apabila menemukan kebenaran, ma’’rifah itulah yang akan membawanya kepada ridho illahi dan kebahagiaan sejati.[16]
Diketahui bahwa manusia diciptakan dari nutfah air setitik, menjadi segumpal darah dan segumal daging, dan tulang-tulang, lalu diselimuti dengan daging lain. Dari situlah manusia harus mengetaui bahwa pencipataan yang ada meruoakan pencitaan yang baik.
(المعمنون) فتبا رك الله احسن الخلقين      اع
Tanda-tanda orang yang tembus Ma’rifatnya
“ Tandan para hamba telah mengenal-Ku (ma’rifat) dalam hatinya, ialah memberi penilaian yang baik terhadap qadar-Ku, sehingga ia tidak keluh kesah atas hukum-Ku, tidak merasa lambatatas pemberian-pemberian-Ku, dan (ia) segan bila hendak melakukan maksiat.” (HR. Ad-Dailami).
Seorang hamba yg dianggap sudah betul-betul ma’rifatullah di dalam hatinya, apabila dia dapat istiqamah terhadap 7 (tujuh) macam, sebagai berikut:
Dia dapat menetapkan, menilai dan merasakan atas kebaikan, segala qudrat dan iradah Allah yang telah berlaku (tidak ada cacat dan cela, dan tidak ada protes dan kemarahan sedikitpun di hatinya) atas setiap ketetapan dari qudrat dan Iradah-Nya.
1.      Dia tidak keluh kesah atas hukum Allah, yaitu Ikhlas menerima semua bentuk Qadha’ dan qadar Allah Swt.
2.      Dia tidak merasa kecewa atas rezeki, rahmat dan nikmat pemberian Allah Swt, tidak pernah merasa ketidakadilan Allah, tidak merasa Allah Swt. Telembat menjawab doa yang dipanjatkan.
3.      Dia sangat segan dan sama sekali tidak mau mendurhakai Allah dengan melakukan perbuatan maksiat dan dosa-dosa dalam bentuk dan suasana apapun.
4.      Dia selalu menjaga segala barang makanan dan minuman yang haram, dan dari sumber yang haram yang masuk kedalam perutnya.
5.      Dia selalu mengingat kematian, dan sanggup menghitung dosa dan amal kebaikannya, dan hal itu sudah lama dia bersiap menghadapi kematian, menghadapi alam barzakh dan alam akhirat.
6.      Dia berusaha melepaskan kenikmatan dunia yang mungkin menghambatnya untuk mencintai Allah demi merangkil kebahagiaan dan keselamatan dii akhirat, sehingga dia selalu tunai melaksanakan hak-hak Allah atas dirinya, dengan tidak jemu dan bosan (beribadah siang malam), sehingga hari-harinya disibukkan untuk berbakti kepada Allah, karena hatinya senantiasa merindukan Allah Swt.[17]

C.     Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah
Dalam literatur tasawuf terdapat dua tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini, Al- Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. Di Ghazaleh, suatu kota kecil didekat Tus Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahu-tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M. Dan meninggal disana tahun 1111 M.[18]
Adapu Dzunn al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak di Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menmbahnkan jalan untuk menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut terpaling darii jalan yang benar.[19]
Mengenai bukti bahwa kedua tiokoh tersebut membawa paham ma’rifah dapat diikuti dari pendapat-pendapatnya di bawah ini. Al-Ghazali misalnyamengatakan ma’rifah adalah:
“ tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetauan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencangkup segala yang ada.
Lebih lanjut al-Ghazali mengataka ma’rifah adalah memandang kepada wajah (rahasia) Allah.[20]
Seterusnya Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’firah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengtakan ya Allah atau ya Rabb karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyataka bahwa Tuhan ada dibelakang tabir. Orang yang duduk dihadapan temannya tidak akan memanggil temannya itu.[21]
Tetapi bagi Al-Ghazali ma’riah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namaun mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu muhabbahdalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmad Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperolah dari ma’rifahlebih tinggi mutunya daripada yang diperoleh ileh akal.[22]
Adapun ma’rifah yang dikemukakan oleh Zun al-Nur Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi.ma’rifah dimasukkan oleh Tuhan kedalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika zun al-Nur al Misri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab:
“ Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak dengan Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ma’rifah tidak dapat diperoleh beegitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukan hasil pemikiran manusia, tergantung kehendak dan Rahmad Tuhan. Ma’rifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberia tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyyah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuhuntuk beribadat.[23]
Para sufi yang sudah mencapai ma’rifah ini mempunyai perasaan spiritual dan kejiwaan yang tidak dimiliki orang lain. Dan dalam beribadah kepada Allah merasakan kenikmatan, keringanan, dan kekhusukan.[24]

D.    Ma’rifah dalam pandangan Alqu’an
Uraian diatas telah menginforamasikan bahwa ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia tentang Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran Cahaya-Nya yang dimasukkan kedalam hati seseorang sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan Nur(cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kalikata Nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi:
ومن لم يجعل الله له نورا فما له من نور
“ dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempinyai cahaya sedikitpun.”(QS. Al-Nur,24:40)
افمن شرحالله صدره للا سلا م فهو علي نورمن ربه
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya( sama dengan orang yang membetu hatinya)? (QS. Al-Zumar, 39:22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak dapat cahaya-Nya akan mendapat kesesatan hidup. Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam ajaran Islam, dan tidak bertentangan dengan Islam.





















E.     Penutup
Kesimpulan
Ma’rifah merupakan maqam tertinggi dalam tingkatan tasawuf. Sesuai dengan pengertiannya yaitu mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan hati sanubari, tentunya dengan beberapa usaha yang harus dilakukan oleh seorang sufi terlebih dahulu. Berkaitan dengan ma’rifah, terdapat hadist yang mendukung akan anjuran untuk mengenal Allah. Allah sendirilah yang ingin memperkenalkan siapa diri-Nya. Maka Allah menciptakan makhluk.
Bagaimana kita, seorang manusia harus pengenal akan penciptanya. Pertama kali yang harus dilakukan adalah membuka hati kita untuk merenungkan siapa yang menciptakan kita, dan bagaimana kita diciptakan hingga demikian sempurnanya.















DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin.  Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012.
Mustofa, A.  Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Al-Hasyimi, All-Hajj Mohammad Djami’at. Tauhid dan MA’rifah. Jogjakarta: Mida Pustaka, 2011.
Zainul, Bahri Media. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Airlangga, 2010.
Hamka. Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993.
Ya’qub, Hamzah. Tasawuf dan Taqarrub. Bandung: Pustaka Madya, 1987.
Khoir, Al-Kadiri Anam. 8 Langkah Mencapai Ma’rifahtullah. Jakarta: AMZAH, 2010.
Kartanegara, Mulyadhi.  Menyelami Luاbuk Tasawuf. Jakarta: ERLANGGA. 2006.
Aman, Saifuddin. Tsawuf Revolusi MentalZikir Mengolah Jiwa dan Raga . Banten: Ruhama. 2014
Riyadi, Abdul Kadir. Antropologi Tasawuf. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2014.



[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
[2]Ibid.,219.
[3]A. Mustofa, Akhlak Tasawuf(Bandung: CV. Pustaka Setia,1999),251.
[4]All-Hajj Mohammad Djami’at Al-Hasyimi, Tauhid dan MA’rifah(Jogjakarta:Mida Pustaka,2011),159.
[5]Mustofa, Akhlak Tasawuf.,253-253.
[6]Nata,Akhlak Tasawuf.,221.
[7]Bahri Media Zainul, Tasawuf Mendamaikan Dunia(Jakarta: Airlangga, 2010),84.
[8]Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: ERLANGGA, 2006), 10.
[9]Ibid.
[10]Saifuddin Aman, Tsawuf Revolusi MentalZikir Mengolah Jiwa dan Raga (Banten: Ruhama, 2014), 77.
[11]Nata,Akhlak Tasawuf.,220.
[12]Al-Hasyimi,Tauhid dan MA’rifat.,159.
[13]Mustofa, Akhlak Tasawuf.,255-256.
[14]Hamka, Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya(Jakarta:Pustaka Panji Mas,1993),126.
[15]Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014), 18.
[16]Hamzah Ya’qub,Tasawuf dan Taqarrub(Bandung: Pustaka Madya,1987),179.
[17]Ibid.,181.
[18]Nata,Akhlak Tasawuf.,225.
[19]Ibid.,226.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.,228.
[23]Ibid.,227-228.
[24]Al-Kadiri Anam Khoir, 8 Langkah Mencapai Ma’rifahtullah(Jakarta: AMZAH,2010),236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top