Rabu, 02 Desember 2015

TAREKAT QADIRIYAH

Tidak ada komentar:
TAREKAT QADIRIYAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Tarekat”
Dosen pengampu:
Dr.A.Halil Thahir,MHI.



Disusun oleh:

Mochammad Misbahul Munir (933600214)


JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI AKHLAK TASAWUF
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015



A.    Latar Belakang
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.






A.    Pembahasan
1.        Sejarah Tarekat Qodiriyah
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M.



Ibunya seorang perempuan yang shalehah bernama Fathimah binti Abdullah al-Shama’i al-Husaini keturunan Rasulullah Saw. Ketika melahirkan Syekh Abd Qadir jilani ibunya berumur 60 tahun. Suatu kelahiran yang tidak lazim bagi wanita yag seumurnya. Ayahnya bernama Abu-Shalih, jauh sebelum kelahirannya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang diiringi oleh para sahabat, imam mujahidin, dan wali.
Nabi Muhammad berkata kepada Abu Shalih,”wahai Abu Shalih” Allah akan memberi anak laki-laki, anak itu kelak akan mendapat pangkat yang tinggi dalam kewalian sebagaimana halnya aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan. Syekh Abd Qadir jilani menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi (sultonul awliya) pemimpin para wali yang sering disebut quthub al-awliya atau wali quthub.
Nama lengkap dan silsilah Syekh Abd Qadir jilani sampai ke Nabi Muhammad Saw adalah Abu Muhammad Abd al-Qadir Jilani ibn Abi Shalih ibn Musa ibn Janki Dusat ibn Abi Abdillah ibn Yahya al-Zahid ibn Muhammad ibn Daud ibn Musa ibn Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan al-Musanna ibn Hasan al-Sibthi ibn Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra al-Bathul binti Rasulallahi Saw.
Keutamaan Syekh Abd Qadir sudah tampak semenjak bayi, ia tidak mau menyusu disiang hari kepada ibunya selama bulan ramadhan, begitu juga dengan kejujurannya Syekh Abd Qadir, sudah terlihat semenjak usia balita. Disamping itu karena penghormatan yang sangat tinggi kepadanya menimbulkan cerita-cerita kekeramatan yang sangat luat biasa. Namun tidak dapat dipungkiri akan ketinggian ilmunya dan kekuatan pengaruhnya. Kepribadiannya yang sangat menarik, artikulasi bahasa yang bagus menjadikan ia tokoh yang sangat dihormati dan dikenang sepanjang zaman. Dalam bidang hukum islam, beliau lebih cenderung pada mazhab Hambali, sedangkan pemikiran kalamnya lebih keliatan warna teologi Asy’ari.[1]
Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya.
Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti.
Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah.[2]

2.      Ajaran dan Praktik
a.       Aspek Ajaran
Pada dasarnya Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan jaran pokok islam, terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah seorang yang sangat menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Bahwa dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.
Suatu hari Syaikh berkata kepada para sahabtnya, “Kalian jangan berbuat bid’ah. Taatlah kalian, jangan menyimpang. “Ucapannya yang lain: Jika padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, kethuilah bahwa kalian dilanda fitnah, syetan telah mempermainkanmu. Maka kembalilah kepada hukum syariat dan berpeganglah, tinggalkan hawa nafsu karena segala sesuatu yang tidak dibenarkan syariat adalah batil.
Ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajarannya yaitu taubat,zuhud,tawakal,syukurridha dan jujur.
Adapun ajaran spiritual Syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Yang artinya Ia selalu merasakan bahwa Tuhan senantiasa hadir.
Kesadaran akan kehadiran Tuhan di segenap ufuk kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi kebangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai transeden pada kehidupan. Nasihat Rasulullah dalam hadis, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa ia melihatmu,” merupakan semboyan hidupnya, yang diterjemahkan dalam praktik kehidupannya sehari hari.
Dalam khotbahnya Ia menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadaran ini membersihkan dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan alam roh.[3]
b.      Aspek Praktis
Di antara praktik spiritual yang diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir (melantunkan asma’ Allah secara berulang-ulang). Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang asma’Allah mealui tarikan nafas panjang yang kuat seakan dihela dari tempat yang tinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang seacara konsisten untuk waktu yang lama.
Zikir adalah cara yang paling tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah,maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah.
Zikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi sholat, kemudian melantunkan asma’ Allah di dada sebelah kanan, lalu dijantung, dan kesemuanya dilakukan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap efektif untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran yang kacau. Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang pembacaan asma’ Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, dan akhirnya di jantung.
Kesemuanya ini dilakukan dengan intensitas yang lebih tinggi dan pengulangan yang lebih sering. Sementara itu, zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk bersila, dengan mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu ditarik ke arah jantung, dan terakhir di baca di depan dada. Cara terakhir ini di harapkan dapat dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik zikir ini dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk lingkaran setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma Allah empat ribu kali setiap harinya, tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah memiliki kualifikasi untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.
Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Setelah melakukan zikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan apa yang disebut sebagai pas-i anfas, yakni mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan nafas, asma Allah bersirkulasi dalam tubuh secara otomatis. Kemudian ini, diikuti dengan muraqabah atau kontemplasi. Dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat al-qur’an atau pun sifat-sifat ilahiah tertentu hingga sungguh-sungguh terserap ke dalam kontemplasi.
Zikir adalah kunci dan sekaligus menempati posisi yang amat penting dalam tradisi tarekat, termasuk Tarekat Qadiriyah karena zikir bagaikan anak kunci yang mampu membuka pintu gerbang dunia spiritual yang terbatas. Apabila pintu hati telah terbuka, muncullah dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati.
Ketika mata hati telah terbuka, maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu. Kemudian mata hati itu akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan. Membaca zikir atau wirid Asma Allah merupakan cara dalam pembersihan diri untuk mencapai sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat yang mulia sehingga dapat mencapai derajat insan kamil.
Adapun seseorang yang akan memasuki Tarekat Qadiriyah, di samping perlu mempersiapkan pembersihan diri sejak awal, setidaknya dia harus menempuh dua fase, yaitu:
Fase pertama, di awali dan diakhiri dalam satu kali pertemuan. Jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, memakan waktu tidak tidak lebih dari setengah jam. Fase ini memilki beberapa tahapan, antara lain:
a)      Pertemuan pertama antara murid dan syaikh. Dalam pertemuan ini dilakukan beberapa keharusan, seperti perjanjian, taubat, permohonan ampun kepada Allah, taat, dan zikir.
b)      Wasiat, berupa pesan-pesan syaikh kepada sang murid untuk diamalkan. Pesan-pesan tersebut antara lain: menanggung derita, pemaaf, tidak menyakiti saudara, bersungguh-sungguh mengekang hawa nafsu, menghindari kedengkian, iri hati, dusta dan perbuatan-perbuatan keji lainnya. Dan memelihara wudlu, beristighfar, dan mengucapkan shalawat Nabi.
c)      Baiat, yang berarti sang murid diterima memasuki ajaran tarekat. Pada saat ini syaikh mengatakan: “Aku telah menerimamusebagai murid, aku telah membaiatmu atas penerimaan ini.
d)      Doa dari syaikh yang dibacakan di hadapan sang murid. Doa tersebut mempunyai dua corak, yaitu :
-          Umum :
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالَّيْنَ وَلاَمُضِلِّيْنَ سَلِيْمًا لأَوْلِيَائِكَ وَعَدْوًا لِأَعْدَائِكَ, مُحِبًّا بِحُبِّكَ مَنْ أَحَبَّكَ, وَنُعَادِى بِعُدْوَاتِكَ مَنْ خَالَفَكَ, اَللَّهُمَّ هَذَا الدُّعَاءُ مِنْكَ وَعَلَيْكَ الإِجَابَة وَهَذَا الْجُهْدُ وَعَلَيْكَ التَّكْلاَنُ وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّبِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
     -          Khusus :
اَللَّهُمَّ كُنْ بَرًّا رَحِيْمًا جَوَّدًا كَرِيْمًا, اَللَّهُمَّ دُلْهُ بِكَ إِلَيْكَ, اَللَّهُمَّ خُذْهُ مِنْهُ, اَللَّهُمَّ افْتَحْ عَلَيْهِ فُتُوْحَ الأَنْبِيَاءِ وَاْلأَوْلِيَاءِ بِجُوْدِكَ وَرَحْمَتِكَ وَكَرَمِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى جَمِيْعِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِمْ وَصَحْبِهِمْ أَجْمَعِيْنَ

e)      Segelas minuman untuk sang murid oleh syaikh dengan dibacakan penggalan ayar al-Quran:

Kemudian syaikh membaca surat al-Fatihah dan al-Ikhlas tiga kali, lalu syaikh memberikan gelas yang berisikan minuman tadi untuk diminumkan ke sang murid. Setelah selesai fase pertama ini, sang murid telah resmi menjadi anggota dan berkewajiban mengikuti ajaran syaikh yang telah mengambil sumpah darinya.
Fase kedua, sang murid memasuki tahapan perjalanan menuju Allah dengan bantuan syaikh untuk membimbingnya dan menyertainya selama proses perjalanan. Fase ini dapat memakan waktu bertahun-tahun. Hal itu akan berakhir ketika sang murid telah nyata-nyata mandiri dari bantuan gurunya, ia akan dianugerahi “ijazah” sebagai bukti keluhuran jiwanya. Pada saat itulah ia diakui dan sah menjadi bagian dari para syaikh.[4]
B.     Kesimpulan
Tarikat Qadariyah yang didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani memiliki kontribusinya besar terhadap spiritualitas Islam memang amat penting. Ia mendirikan suatu gerakan yang amat kuat dalam membentuk budaya spiritual Islam sampai saat ini.
Kajian tarekat dalam dunia islam adalah sebuah upaya dan proses yang terus-menerus, berkesinambungan, sejak kelahirannya hingga saat penulisannya sekarang. Tarekat Qadiriyah misalnya sejak abad ke-12 Masehi, saat pendirinya hidup hingga sekarang, di Indonesia dan di tempat-tempat lain orang masih menyelenggarakan manakib Syekh Abd al-Qadir al-Jailani. Kekhasan tarekat ini masih survive sebagai tarekat pelopor, yaitu pengucapan dzikir Jahar bahkan menjadi bagian/dasar dari sebagian tarekat yang lahir kemudian.
Kemunculan tarekat di Indonesia sejalan dengan perkembangan islam di Negara-negara muslim lainnya. Perkembangan tarekat di Indonesia muncul karena dibawa oleh para syaikh yang tadinya berguru di Mekkah setelah mendapat ijazah dari para gurunya, mereka pun mulai mengajarkan system tarekat di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

https://yanamadyana07.wordpress.com/2013/01/05/tarekat-qadiriyah/
Wulyati Sri. 2004. Tarekat-Tarekat Muktabarah. Jakarta: kencana. 36-37


[1] https://yanamadyana07.wordpress.com/2013/01/05/tarekat-qadiriyah/
[3] Sri Wulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah, (Jakarta: kencana, 2004), 36-37
[4] Ibid, 44-48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top