Sabtu, 12 Desember 2015

TASAWUF MODERN (NEO-SUFISME)

Tidak ada komentar:
TASAWUF MODERN (NEO-SUFISME)
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen pengampu:Akhmad Hasan Soleh
MAKALAH
Logo_STAIN_Kediri.jpg
Disusun oleh:
Mochammad Misbahul Munir(933600214)
Siti Khalifah(933600314)
Rizki Dear Muslimin Putra(933600414)
Umi Kulsum (933600514)
Erna Nur Hayati(933600714)

PROGRAM STUDI AKHLAK TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 (STAIN) KEDIRI
2015
 


I.                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mengamati trend kehidupan yang disisakan oleh ekspansi “guritakapitalisme, yang bukan saja mencuatkan gaya kehidupan yang meterialistik- hedonistik, tetapi juga meniupkan rasa terancam dan kecemasan dalam masyarakat. Lantas orang menyimpulkan , modernisme dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia.Dan pernyataanpun mencuat, model peradapan yang bagaimana lagi yang bakal muncul di hari esok? Masih adakah tersisa harapan dan cinta di masa datang? Bagi setiap muslim yang sadar, pasti merasakan masih adanya tersisa benih harapan dan cinta. Demikaianlah, dalam suasana kehidupan yang menyesakkan nurani. Nampaknya, pernyataan ini benar mengingatkan bahwa dalam perkembangan manyarakat pada era-modernisme, tidak lagi memadai dengan disuguhi sekedar literalisme doktriner keagamaan belaka, tetapi masyarakat masa kini memerlukan pengalaman yang lebih intens, lebih menusuk dalam pencarian nilai dan makna.
Oleh karena itu dalam kehidupan modern, tasawuf tetap dibutuhkan untuk membimbing masyarakat menuju jalan kedamaian. Namun perlu adanya telaah lebih lanjut, bagaimana tasawuf  memberikan pembaharuan di era modern ini, agar lebih mudah dilakukan dan mencapai ketenangan atau kedamaian bersama di dalam masyarakat.


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan tersebut, berikut ini rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini:

1.      Apa pengertian Neo-sufisme atau Tasawuf Modern?
2.      Bagaiman ciri dari Neo-sufisme?
3.      Baimana gagasan dan harapan dari Neosufisme?

II.                PEMBAHASAN

A.    Pengertian Neo-sufisme
Apa yang ingin diungkapkan oleh sufisme terdahulu adalah bahwa, sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini adalah timbulnya kepincangan arti nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan makna batiniahnya saja dan sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya oleh karena itu, adalah wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi tidak tertarik, bahkan terkesan mengarah pada privatisasi agama. Namun terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritas) yang lebih mengutamakan aspek-apek formal lahiriyah yang melalui pendekatan rasional. mereka lebih menitikberatkan pada segi-segi syari’ah. [1] Karena banyak problem yang di derita manusia modern salah satunya adalah kehilangan visi metafisis dan kehampaan makna hidup. Dunia modern telah menutup rohani penghuninya dari visi ketuhanannya, sehingga manusia kehilangan pegangan yang dapat diandalkan ketika suka dan duka. Lalu, produk-produk dunia modern yang disangka manusia dapat mengekalkan kebahagiaannya ternyata hanya menawarkan kenikmatan semu, sehingga menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan. kekecewaan pada produk modern lalu berlanjut dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan, seperti munculnya rasa hampa, sepi, terasing dari dunia, khawatir menghadapi masa depan, dan seterusnya.[2]

Menurut Nur Cholish Majid, neo-sufisme adalah sebuah penghayatan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan.[3]
Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam dengan sebutan Neo-sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan apa yang disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan terhadap sains dan teknologi selaku produk era modernisme.[4]

B.     Ciri Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman , neo-sufisme adalah “reformed sufism”, sufisme yang telah diperbarui. Neosufisme mangalihkan pusat pengamatan kepada sosio-moral masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan lebih bersift individual dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan.[5]
            Sifat puritanis pendukung neo-sufisme menyebabkan bersebrangan dengan paradigma sufisme terdahulu yang mengarahkan pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga mereka pasif. Berlainan dengan Neo-sufisme, yang justru mendorong dan memotivasi agar aktif dan kreatif dalam kehidupan ini.
            Sufisme terdahulu cenderung tertutup terhadap perkembangan pemikiran di luaran. Lain halnya dengan neo-sufusme, kelihatannya justu sangat mendukung keanekaragaman pemahaman keagamaan dan hidup dalam pluralitas masyarakat manusia. Artinya bahwa, neo-sufisme berupaya untuk menampung berbagai paham yang berkembang. Mereka tidak menutup diri dari perkembangan dunia dan peradaban manusia, tetapi justru sangat menekankan pentingnya pelibatan diri didalam masyarakat secara intensif.[6]
            Neo-sufisme secara singkat dapat dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam yang utuh, yakni kehidupan yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak seluruhnya barang baru, namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kondisi kekinian. Dengan menukil rumusan Nur Kholis Majid yang mengatakan, bahwa neo-sufisme adalah sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Neo-sufisme mendorong dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengalamannya lebih utuh dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja, tetapi seimbang.[7]Dengan konsep tasawuf yang berdasarkan tiga prinsip:
1.      Mengacu pada normativitas Al-Qur’an dan As-sunnah
2.      Menjadikan Nabi dan para salaf ash-shalihin sebagai panutan dalam aplikasinya, dan
3.      Berprinsip pada sikap tawazun dalam Islam (penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masyarakat sosial).[8]

           
C.     Peran Dan Harapan Neo-Sufisme
Banyak problem yang di derita manusia modern salah satunya adalah kehilangan visi metafisis dan kehampaan makna hidup. Dunia modern telah menutup rohani penghuninya dari visi ketuhanannya, sehingga manusia kehilangan pegangan yang dapat diandalkan ketika suka dan duka. Lalu, produk-produk dunia modern yang disangka manusia dapat mengekalkan kebahagiaannya ternyata hanya menawarkan kenikmatan semu, sehingga menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan. Kekecewaan pada produk modern lalu berlanjut dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan, seperti munculnya rasa hampa, sepi, terasing dari dunia, khawatir menghadapi masa depan, dan seterusnya.[9]
Ada dua pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab sebelum sampai pada bagaimana peranan Neo-sufisme dalam konteks kekinian, terutama dalam menanggulangi krisis spiritual. Pertama, mengapa krisis spiritual itu dapat menurunkan martabat manusia dan bahkan mengancam peradaban dan eksistensi manusia itu sendiri? Kedua, mengapa manusia modern terkena krisis spiritualitas?[10]
Pertama kita menjelaskan tentang substansi manusia dengan ini kita dapat mngetahui pokok yag harus terpenuhi demi terwujudnya manusia yang sempurna. Secara teologis, manusia adalah makhluk Allah. Ia adalah ciptaan-Nya yang ditunjuk sebagai hambanya dan kholifahnya dimuka bumi. Manusia diciptakan oleh Allah dari tanah liat. Allah berfirman:
Suarat as-sajadah ayat 7
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Surat shaad ayat 71
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِين        
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah".
Disamping jasad, manusia memiliki roh. Allah berfirman:Surat Al-hajr ayat 29
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Ayat ini menunjukkan adanya hubungan langsung dan erat antara roh dan Allah sehingga menunjukkan bahwa unsur roh yang ada dalam diri manusia memiliki hubungan  langsung dengan Allah. Itulah sebabnya (spiritual) merupakan unsur terpenting dalam pribadi manusia. Sejalan dengan Al-Qur’an, para filisofis Islam mengakui bahwa manusia itu tersusun dari elemen materi dan immateri. Kedua elemen ini merupakan hasil emanasi Tuhan. Melelui unsur immateri yang ada dalam dirinya, manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah. Karena itulah unsur spiritual yang dimiliki oleh manusia menempati posisi yang sangat penting, sebab ia merupakan jalur penghubungan antara manusia dan Tuhan. Krisis spiritual juga akan menurunkan martabat manusia sejajar dengan martabat materi hewani. Karena unsur spiritual itu memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia, krisis spiritual bagi manusia menyebabkan terjadinya berbagai penyakit jiwa yang menimbulkan berbagai kemudhorotan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ini adalah jawaban pertanyaan pertama. Kedua, problem spiritual bagi manusia modern adalah merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Bagi orang modern perbedaan roh dan jasad hanya dalam logika tidak dalam realitas. Oleh karena itu manusia modern telah kehilangan keyakinan metafisik dan eskatalogis diganti dengan ide-ide materialisme. Sebab manusia modern akhir dari eksistensialisme yang hanya mengakui eksistensi manusia manakala manusia tersebut sudah merdeka dan dia merdeka kalau menjadi ateis. Maka dari itu manusia modern mengalami krisis spiritual. [11]
Setelah diketahui penyebab terjadinnya krisis, selanjutnya peran Neo-sufisme dalam menanggulangi krisis spiritual yaitu, yang telah dikonstruk oleh Fazlur Rahman sebagai tasawuf model salafi. Berdasarkam acuan normative Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjadikan Nabi dan para salaf ash-shalihim sebagai panutan adalam aplikasinnya, dalam proses menjalankan spiritualisasi ketuhanannya. Yaitu dengan mengeliminasi unsure mistik-metafisk dan asketik dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks asing lainnya, dan digantikan dengan doktri-doktrin yang bernuansa salaf  yang quranik-normatif.
Doktrin yang dimaksud untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan. Karena banyak problem, yang berkembang di tubuh tasawuf  kini, maka dari itu harus diperbaruhi agar tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang kehidupannya.
Unsur dasar Neo-sufisme  adalah sifat kehidupan manusia yang senantiasa berubah.  Artinnya, kontek kehidupan tasawuf pada abad lalu berbeda dengan konteks kekinian. Karena masyarakat manusia realitas yang senantiasa berubah dan mencair. Oleh karena itu, perubahan masa kini harus disikapi dengan pola yang baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan dalam masa kini  harus dengan memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari kearagaman sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama, yaitu ketenangan, kedamaian, dan kebahgiaan intuitif, dan bukan untuk individu saja tapi untuk kesalehan sosial.[12]
            Untuk menghasilkan gagasan Neo-sufisme ini, kelihatannya harus diikuti dengan peletakan formulasi ajaran dan sistem pembinaan menuju sufi yang jelas dan terarah. Sufisme terdahulu digemari banyak orang, adalah karena kejelasan nilai dan sistem yang ditawarkan, sehingga orang dengan mudah dapat meyakini sebagai pilihan yang terbaik. Kalau demikian, untuk menempatkan Neo-sifisme sebagai alternatif terakhir dan terbaik dalam upaya mewujudkan Islam sebagai Rahmatan lil’alamin, maka gagasan ini harus dikongkritkan dalam bentuk pola ajaran dan pola pembinaan, menuju terciptanya insan “ sufi masa kini”. Realisasi ide ini kelihatannya tidak sulit, karena cukup dengan menginterpretasi dan reaktualisasi nilai dasar sufisme terdahulu sesuai dengan konteks kekinian. Sebab, nilai dasar yang sufisme terdahulu, nampaknya tetap releven untuk diaktualkan. Yang perlu dilakukan adalah memformulasikan ulang hal-hal yang bersifat instrumental saja, sedangkan aktualisasinya bisa diselaraskan dengan tantangan dan peluangnya.[13]














III.             KESIMPULAN
Iintisari tasawuf terdahulu yaitu membangun jalan bebas hambatan menuju Allah sehingga ia dapat bertatap muka dengan yang Al-Haqq. Lintasan yang ditempuh menempuh beberapa tahap dan berujung pada pengalaman spiritual yang adi dan asri, yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan yang memiliki tingkatan kebenaran mutlak, karena diperoleh langsung dari Yang Maha Benar. Oleh karena itu keinginan yang berlebihan itu menyebabkan mereka menempatkan syari’ah dibawah kendali sufisme, sebab menurut konsepsi ini, untuk dapat sampai pada tingkat “al-kasyf”, hanya dapat ditempuh melalui kontemplasi dengan aturan dan perangkat amalan yang menuntut”kebebasan” dari hukum formal syari’at.
Neo-sufisme merupakan pembaharuan tasawuf, yang mampu menyeimbangi antara aspek spiritual dengan masyarakat. Yang mempunyai ide memperpanjang harapan terciptanya kehidupan yang seutuhnya.




















DAFTAR PUSTAKA

Siregar,Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002.
Ali,Yunasril. Sufisme dan Pluralisme.Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2012.
Rifa’i, Bachrun dan Hasan Mud’is.Filsafat Tasawuf.Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
Rozak, Abdul. Filsafat Tasawuf. Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010.







[1] Rivay Siregar,Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2002),309.
[2] Yunasril Ali,Sufisme dan Pluralisme(Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2012),264.
[3]Rifay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme.,314
[4] Ibid.,312
[5] Ibid.,314
[6] Ibid.,316
[7] ibid.,318
[8] Bachrun Rifa’i,Hasan Mud’is,Filsafat Tasawuf,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),312.
[9] Yunasril Ali,Sufisme dan Pluralisme(Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2012),264.
[10] Abdul Rozak, Filsafat Tasawuf,) Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010(,313.
[11] Ibid.,314
[12] Abdul Rozak, Filsafat Tasawuf.,313.
[13] Rifay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme.,320-322.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top