MENUJU PENGETAHUAN TUHAN
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Ilmu Hadist
Dosen pengampu: M. Mu’tashimbillah, MA
MAKALAH
Disusun oleh:
Umi
Kulsum (933600514)
PROGRAM STUDI AKHLAK TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2015
A.
Pendahuluan
Tasawuf merupakan ilmu untuk membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan
untuk mencapai ihsan yakni merasakan kedekatan dengan Allah dalam kehidupan sehari-harinya
dalam menempuh kebahagiaan dunia akhirat.
Di dalam tasawuf sendiri terdapat beberapa maqam atau kedudukan
yang dimiliki seorang salek, tingkatan pertama adalah syari’at, yang merupakan
dasar-dasar dari hukum Islam, pada tingkatan yang kedua adalah tarekat ini
merupakan ilmu tentang cara bagamana menuju pada kedekatan diri dengan Allah,
kemudian tingkatan yang ketiga adalah hakikat dan terakhir ma’rifah. Perbadaan
antara hakikat dan ma’firat adalah hakikat diri seseorang yang sudah dekat dengan
Allah sedang ma’rifat adalah rasa kedekatan itu sendiri.
Ma’rifat merupakan tingkatan tertinggi dalam tangga Tasawuf. Dimana
seseorang sudah benar-benar mengetahui rahasia Tuhannya dengan hati kebersihan
sanubarinya.
Setiap seorang yang belajar tasawuf, tujuan utamanya adalah
pembersihan diri agar hatinya dapat
mengetahui Tuhannya atau berma’rifah. Bagaimana ma’rifat itu bisa
dilakukan, maka akan dibahas dalam makalah berikut ini.
B.
Hadist dan Terjemahannya
كنت خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلقت فتعرفت اليهم فعرفو ني
” Aku(Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi(Ghaib), Aku
ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu
Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. maka mereka itu mengenal Aku.”
(Hadist Qudsi)[1]
C.
Kritik Hadist
Hadist tersebut merupakan Hadist Qudsi yaitu ma’nanya berasal dari
Allah dan lafaldnya dari Nabi Muhammad. Hadis ini tidak semuanya diberitahukan
kepada para sahabat, karena canghkupannya yang tidak semua sahabat dapat
menerimanya.
Pada hadist diatas, memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal
oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifah atau pengetahuan tentang Tuhan dapat terjadi, dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
D.
Fiqhul Hadist
A.
Pengertian, tujuan, kedudukan Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah barasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan,
ma’rifah yaitu pengethuan atau pengalaman.[2]
Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf,maka istilah
ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam dalam
taswuf.[3]
Ma’rifat berarti mengerti, mengetahui, memahami, menyadari, atau
mengenal segala objek yang akan dikenal, objek apa saja.[4]
Beberapa ulama tasawuf mendefinisikan ma’rifah sebagai berikut:
a.
Dr.
Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf mengatakan
المعرفة جزم القلب بوا لواجب ا لموجود متصفا بسا ئر الكلما ت
“ ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam
mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala
ksempurnaanya.”
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiry mengemukakan
pendapat Abuth Thayyib A-Samirry yang mengatakan:
المعرفة طلوع الحق, وهو القلب بموا صلة الانوار
” ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah
(pada sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Illahi.”
c.
Imam
Al-Qussyairy mengemukakan pendapat Abdur
Rahman bin Muhammad bin Abdillah mengatakan:
المعرفة
يو جب السكنة في القلب كما ان العلم يو جب السكنو , فمن ازدادت معرفته ازدادت
سكينته
“ ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana
ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang
meningkat ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”[5]
Dari beberapa definisi di atas dapat diketahui bahwa ma’rifat
adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan meggunakan hati sanubari. Dengan
demikian tujuan yang ingin dicapai ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia
yang terdapat dalam diri Tuhan.[6]
Ma’rifah merupakan tingkatan atau maqam tertinggi, dimana maqam
secara literatur berarti berdiri, stasiun, tempat lokasi. Dan secara
terminologis adalah kedudukan spiritual.[7]
Ma’rifah adalah sejenis pengetahuan dengan mana para suri menangkap
hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. ma’rifah berbeda dengan jenis
pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak
melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu.[8]
Seperti indra menangkap objeknya secaara langsung, demikian juga
hati atau intuisi menangkap objeknya secara langsung. Perbedaannya terletak
pada jenis objeknya. Klau objek indra adalah benda-benda indrawi, objek-objek
intuisi adalah entits-entitas spiritual. Dalam kedua modus pengetahuan ini,
menusia mengalami objek-objeknya secara langsung, dan karena itu, ma’rifah
disebut sebagai ilmu eksperiensial( dzauqi).[9]
Ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan
dalam Tasawuf. Dimana tasawuf menurut Ibnu Ajibah merupakan disiplin ilmu yang
mengajarkan tentang cara beribadah di hadapan Tuhan, membersihkan bating dari
sifat-sifat kehinaan dan menghiasinya dengan sifat-sifat kemuliaan. Awalnya
adalah ilmu, pertegahannya adalah amaldan akhirnya adalah karunia kemampuan
besar. [10]Harun
Nasution mengatakan ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga
hati-sanubari dapat melihat tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:
1)
Kalau
mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbka, mata kepalanya akan
trtutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2)
Ma’rifah
adalah cerminkalau seorang rif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya
hanyalah Allah.
3)
Yang
dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4)
Sekiranya
ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanyaakan mati
karena tak tahan melihat kecantikan dan keindahannya dan semua cahaya akan
menjadi gelap diasamping cahaya yang gilang gemilang.[11]
B.
Alat
untuk Mencapai Ma’rifah
Alat Ma’rifat menggunakan Rasio atau akal pikiran(aqly)dan dibantu
dengan wahyu Allah (naqly), serta ditambah dengan pejelasan As-sunnah Nabi
Saw.dari proses penggunaan alat tersebut, ma’rifat akan menemukan kebearan
hakiki terhdap suatu objek yang sudah dianalisa.[12]
Namun jika kita merujuk pada buku dari H Musthofa yang berjudul
Akhlak Tasawuf, jalan untuk mencapai ma’rifah pendapat yang pertama adalah sir.
Dan pendapat yang kedua menurut
Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.
Qalb
(القلب)
Fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan
2.
Ruh (الروح)
Fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan
3.
Sir(
السر)
Fungsinya
untuk melihat Tuhan
Keadaan sir
lebih halus dari ruh dan qalb. Dan ruh lebih ]halus dari qalb. Qalb disamping alat
untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan aql ialah
kalau aql tidak dapat menerima tentang hakikat Tuhan, tetapi Qalb dapat
mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala dilimpahi suatu cahaya
dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.[13]
Dan ilmu ma’rifah atau ilmu sejati bukanlah didapat semata dari aql namun
ma’rifah yang sebenarnya adalah mengenai Tuhan.[14]
Oleh karena itu jalan mudah untuk mengkaji ilmu ma’rifat khususnya
untuk bisa mengenal Allah maka wajib ditempuh lebih dahulu dengan mengkaji
tentang “mengenal diri sendiri,”sesuai dengan fatma ulama:
من عر ف نقسه فقد عرف ربه و من عرف ربه فقد جهل نفسه
“Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya,
dan barang siapa yang mengenal Tuhan-nya, maka lenyap (fana) dirinya.”
Pandangan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan tentang segala
sesuatu bergantung pada pengetahuan diri sendiri.[15]
Ahli hikmah akan memperoleh kenikmatan apabila menemukan kebenaran,
ma’’rifah itulah yang akan membawanya kepada ridho illahi dan kebahagiaan
sejati.[16]
Diketahui bahwa manusia diciptakan dari nutfah air setitik, menjadi
segumpal darah dan segumal daging, dan tulang-tulang, lalu diselimuti dengan
daging lain. Dari situlah manusia harus mengetaui bahwa pencipataan yang ada
meruoakan pencitaan yang baik.
(المعمنون) فتبا رك الله احسن الخلقين اع
Tanda-tanda orang yang tembus Ma’rifatnya
“ Tandan para hamba telah mengenal-Ku (ma’rifat) dalam hatinya,
ialah memberi penilaian yang baik terhadap qadar-Ku, sehingga ia tidak keluh
kesah atas hukum-Ku, tidak merasa lambatatas pemberian-pemberian-Ku, dan (ia)
segan bila hendak melakukan maksiat.” (HR. Ad-Dailami).
Seorang hamba yg dianggap sudah betul-betul ma’rifatullah di dalam
hatinya, apabila dia dapat istiqamah terhadap 7 (tujuh) macam, sebagai berikut:
Dia dapat menetapkan, menilai dan merasakan atas kebaikan, segala
qudrat dan iradah Allah yang telah berlaku (tidak ada cacat dan cela, dan tidak
ada protes dan kemarahan sedikitpun di hatinya) atas setiap ketetapan dari
qudrat dan Iradah-Nya.
1.
Dia
tidak keluh kesah atas hukum Allah, yaitu Ikhlas menerima semua bentuk Qadha’
dan qadar Allah Swt.
2.
Dia
tidak merasa kecewa atas rezeki, rahmat dan nikmat pemberian Allah Swt, tidak
pernah merasa ketidakadilan Allah, tidak merasa Allah Swt. Telembat menjawab
doa yang dipanjatkan.
3.
Dia
sangat segan dan sama sekali tidak mau mendurhakai Allah dengan melakukan
perbuatan maksiat dan dosa-dosa dalam bentuk dan suasana apapun.
4.
Dia
selalu menjaga segala barang makanan dan minuman yang haram, dan dari sumber
yang haram yang masuk kedalam perutnya.
5.
Dia
selalu mengingat kematian, dan sanggup menghitung dosa dan amal kebaikannya,
dan hal itu sudah lama dia bersiap menghadapi kematian, menghadapi alam barzakh
dan alam akhirat.
6.
Dia
berusaha melepaskan kenikmatan dunia yang mungkin menghambatnya untuk mencintai
Allah demi merangkil kebahagiaan dan keselamatan dii akhirat, sehingga dia
selalu tunai melaksanakan hak-hak Allah atas dirinya, dengan tidak jemu dan
bosan (beribadah siang malam), sehingga hari-harinya disibukkan untuk berbakti
kepada Allah, karena hatinya senantiasa merindukan Allah Swt.[17]
C.
Tokoh
yang Mengembangkan Ma’rifah
Dalam literatur tasawuf terdapat dua tokoh yang mengenalkan paham
ma’rifah ini, Al- Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. Al-Ghazali nama lengkapnya
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. Di Ghazaleh, suatu kota
kecil didekat Tus Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain al-Juwaini,
Guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, ia
mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan lain-lain, akhirnya
ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahu-tahun mengembara
sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M. Dan meninggal disana tahun 1111
M.[18]
Adapu Dzunn al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang
terletak di Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang
diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M. Menurut Hamka, beliaulah puncaknya
kaum sufi dalam abad ketiga Hijriyah. Beliaulah yang banyak sekali menmbahnkan
jalan untuk menuju Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang
diturunkan, dan takut terpaling darii jalan yang benar.[19]
Mengenai bukti bahwa kedua tiokoh tersebut membawa paham ma’rifah
dapat diikuti dari pendapat-pendapatnya di bawah ini. Al-Ghazali
misalnyamengatakan ma’rifah adalah:
“ tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetauan mengenai
susunan urusan ketuhanan yang mencangkup segala yang ada.
Lebih lanjut al-Ghazali mengataka ma’rifah adalah memandang kepada
wajah (rahasia) Allah.[20]
Seterusnya Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai
ma’firah tentang Tuhan, yaitu arif, tidak akan mengtakan ya Allah atau ya Rabb
karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyataka bahwa Tuhan ada
dibelakang tabir. Orang yang duduk dihadapan temannya tidak akan memanggil
temannya itu.[21]
Tetapi bagi Al-Ghazali ma’riah urutannya terlebih dahulu daripada
mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Namaun mahabbah yang dimaksud
Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah,
yaitu muhabbahdalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya,
cinta yang timbul dari kasih dan rahmad Tuhan kepada manusia yang memberi
manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain. Al-Ghazali lebih lanjut
mengatakan bahwa ma’rifah dan mahabbah itulah setinggi-tinggi tingkat yang
dapat dicapai seorang sufi. Dan pengetahuan yang diperolah dari ma’rifahlebih
tinggi mutunya daripada yang diperoleh ileh akal.[22]
Adapun ma’rifah yang dikemukakan oleh Zun al-Nur Misri adalah
pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum
sufi.ma’rifah dimasukkan oleh Tuhan kedalam hati seorang sufi, sehingga hatinya
penuh dengan cahaya. Ketika zun al-Nur al Misri ditanya bagaimana ia memperoleh
ma’rifah tentang Tuhan, ia menjawab:
“ Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak dengan
Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ma’rifah tidak dapat diperoleh
beegitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukan hasil pemikiran
manusia, tergantung kehendak dan Rahmad Tuhan. Ma’rifah adalah pemberian Tuhan
kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberia tersebut dicapai setelah seorang
sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan
diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyyah sebagai pengabdian
yang dikerjakan oleh tubuhuntuk beribadat.[23]
Para sufi yang sudah mencapai ma’rifah ini mempunyai perasaan
spiritual dan kejiwaan yang tidak dimiliki orang lain. Dan dalam beribadah
kepada Allah merasakan kenikmatan, keringanan, dan kekhusukan.[24]
D.
Ma’rifah
dalam pandangan Alqu’an
Uraian diatas telah menginforamasikan bahwa ma’rifah adalah
pengetahuan tentang rahasia-rahasia tentang Tuhan yang diberikan kepada
hamba-Nya melalui pancaran Cahaya-Nya yang dimasukkan kedalam hati seseorang
sufi. Dengan demikian ma’rifah berhubungan dengan Nur(cahaya Tuhan). Di dalam
Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kalikata Nur diulang dan sebagian
besar dihubungkan dengan Tuhan. Misalnya ayat yang berbunyi:
ومن لم يجعل الله له نورا فما له من نور
“ dan barang siapa yang tiada diberi cahaya
(petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempinyai cahaya sedikitpun.”(QS.
Al-Nur,24:40)
افمن شرحالله صدره للا سلا م فهو علي نورمن ربه
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya( sama dengan orang
yang membetu hatinya)? (QS. Al-Zumar, 39:22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya
tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.
Mereka yang mendapatkan cahaya akan mudah dapat mendapatkan petunjuk hidup,
sedangkan mereka yang tidak dapat cahaya-Nya akan mendapat kesesatan hidup.
Dalam ma’rifah kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan
demikian ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam ajaran Islam, dan
tidak bertentangan dengan Islam.
E.
Penutup
Kesimpulan
Ma’rifah merupakan maqam tertinggi dalam tingkatan tasawuf. Sesuai
dengan pengertiannya yaitu mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan hati
sanubari, tentunya dengan beberapa usaha yang harus dilakukan oleh seorang sufi
terlebih dahulu. Berkaitan dengan ma’rifah, terdapat hadist yang mendukung akan
anjuran untuk mengenal Allah. Allah sendirilah yang ingin memperkenalkan siapa
diri-Nya. Maka Allah menciptakan makhluk.
Bagaimana kita, seorang manusia harus pengenal akan penciptanya.
Pertama kali yang harus dilakukan adalah membuka hati kita untuk merenungkan
siapa yang menciptakan kita, dan bagaimana kita diciptakan hingga demikian
sempurnanya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2012.
Mustofa,
A. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.
Al-Hasyimi,
All-Hajj Mohammad Djami’at. Tauhid dan MA’rifah. Jogjakarta: Mida
Pustaka, 2011.
Zainul,
Bahri Media. Tasawuf Mendamaikan Dunia. Jakarta: Airlangga, 2010.
Hamka.
Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993.
Ya’qub,
Hamzah. Tasawuf dan Taqarrub. Bandung: Pustaka Madya, 1987.
Khoir,
Al-Kadiri Anam. 8 Langkah Mencapai Ma’rifahtullah. Jakarta: AMZAH, 2010.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Luاbuk
Tasawuf. Jakarta: ERLANGGA.
2006.
Aman, Saifuddin. Tsawuf Revolusi
MentalZikir Mengolah Jiwa dan Raga . Banten: Ruhama. 2014
[1] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
[2]Ibid.,219.
[3]A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf(Bandung:
CV. Pustaka Setia,1999),251.
[4]All-Hajj
Mohammad Djami’at Al-Hasyimi, Tauhid dan MA’rifah(Jogjakarta:Mida
Pustaka,2011),159.
[5]Mustofa, Akhlak
Tasawuf.,253-253.
[6]Nata,Akhlak
Tasawuf.,221.
[7]Bahri
Media Zainul, Tasawuf Mendamaikan Dunia(Jakarta: Airlangga, 2010),84.
[8]Mulyadhi
Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: ERLANGGA, 2006), 10.
[9]Ibid.
[10]Saifuddin
Aman, Tsawuf Revolusi MentalZikir Mengolah Jiwa dan Raga (Banten:
Ruhama, 2014), 77.
[11]Nata,Akhlak
Tasawuf.,220.
[12]Al-Hasyimi,Tauhid
dan MA’rifat.,159.
[13]Mustofa,
Akhlak Tasawuf.,255-256.
[14]Hamka, Tasawuf
perkembangan dan Pemurniannya(Jakarta:Pustaka Panji Mas,1993),126.
[15]Abdul
Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2014), 18.
[16]Hamzah
Ya’qub,Tasawuf dan Taqarrub(Bandung: Pustaka Madya,1987),179.
[17]Ibid.,181.
[18]Nata,Akhlak
Tasawuf.,225.
[19]Ibid.,226.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Ibid.,228.
[23]Ibid.,227-228.
[24]Al-Kadiri
Anam Khoir, 8 Langkah Mencapai Ma’rifahtullah(Jakarta: AMZAH,2010),236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar