TASAWUF MODERN (NEO-SUFISME)
Tugas ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen pengampu:Akhmad Hasan Soleh
MAKALAH

Disusun oleh:
Mochammad Misbahul Munir(933600214)
Siti Khalifah(933600314)
Rizki Dear Muslimin Putra(933600414)
Umi Kulsum (933600514)
Erna Nur Hayati(933600714)
PROGRAM STUDI AKHLAK TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2015
![]() |
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengamati trend kehidupan yang disisakan oleh ekspansi “gurita” kapitalisme,
yang bukan saja mencuatkan gaya kehidupan yang meterialistik- hedonistik,
tetapi juga meniupkan rasa terancam dan kecemasan dalam masyarakat. Lantas orang menyimpulkan , modernisme dipandang gagal memberikan
kehidupan yang lebih bermakna dalam kehidupan manusia.Dan
pernyataanpun mencuat, model peradapan yang bagaimana lagi yang bakal muncul di
hari esok? Masih adakah tersisa harapan dan cinta di masa datang? Bagi setiap
muslim yang sadar, pasti merasakan masih adanya tersisa benih harapan dan
cinta. Demikaianlah, dalam suasana kehidupan yang menyesakkan nurani.
Nampaknya, pernyataan ini benar mengingatkan bahwa dalam perkembangan
manyarakat pada era-modernisme, tidak lagi memadai dengan disuguhi sekedar
literalisme doktriner keagamaan belaka, tetapi masyarakat masa kini memerlukan
pengalaman yang lebih intens, lebih menusuk dalam pencarian nilai dan makna.
Oleh karena itu
dalam kehidupan modern, tasawuf tetap dibutuhkan untuk membimbing masyarakat
menuju jalan kedamaian. Namun perlu adanya telaah lebih lanjut, bagaimana
tasawuf memberikan pembaharuan di era
modern ini, agar lebih mudah dilakukan dan mencapai ketenangan atau kedamaian
bersama di dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan
tersebut, berikut ini rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini:
1. Apa pengertian Neo-sufisme atau Tasawuf
Modern?
2. Bagaiman ciri dari Neo-sufisme?
3. Baimana gagasan dan harapan dari Neosufisme?
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Neo-sufisme
Apa yang ingin diungkapkan oleh sufisme
terdahulu adalah bahwa, sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan
yang paling benar pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini adalah
timbulnya kepincangan arti nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan makna
batiniahnya saja dan sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya oleh
karena itu, adalah wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi tidak
tertarik, bahkan terkesan mengarah pada privatisasi agama. Namun terdapat pula
kelompok muslimin (bahkan mayoritas) yang lebih mengutamakan aspek-apek formal
lahiriyah yang melalui pendekatan rasional. mereka lebih menitikberatkan pada
segi-segi syari’ah. [1] Karena banyak problem
yang di derita manusia modern salah satunya adalah kehilangan visi metafisis
dan kehampaan makna hidup. Dunia modern telah menutup rohani penghuninya dari
visi ketuhanannya, sehingga manusia kehilangan pegangan yang dapat diandalkan
ketika suka dan duka. Lalu, produk-produk dunia modern yang disangka manusia
dapat mengekalkan kebahagiaannya ternyata hanya menawarkan kenikmatan semu,
sehingga menimbulkan kekecewaan yang berkepanjangan. kekecewaan pada produk
modern lalu berlanjut dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan, seperti
munculnya rasa hampa, sepi, terasing dari dunia, khawatir menghadapi masa
depan, dan seterusnya.[2]
Menurut Nur Cholish Majid, neo-sufisme adalah
sebuah penghayatan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam
masalah-masalah kemasyarakatan.[3]
Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam
dengan sebutan Neo-sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan apa yang
disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang
berlebihan terhadap sains dan teknologi selaku produk era modernisme.[4]
B. Ciri
Neo-Sufisme
Menurut Fazlur Rahman , neo-sufisme adalah “reformed
sufism”, sufisme yang telah diperbarui. Neosufisme mangalihkan pusat pengamatan
kepada sosio-moral masyarakat muslim, sedangkan sufisme terdahulu terkesan
lebih bersift individual dan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal
kemasyarakatan.[5]
Sifat
puritanis pendukung neo-sufisme menyebabkan bersebrangan dengan paradigma
sufisme terdahulu yang mengarahkan pengikutnya untuk membenci duniawi sehingga
mereka pasif. Berlainan dengan Neo-sufisme, yang justru mendorong dan
memotivasi agar aktif dan kreatif dalam kehidupan ini.
Sufisme
terdahulu cenderung tertutup terhadap perkembangan pemikiran di luaran. Lain
halnya dengan neo-sufusme, kelihatannya justu sangat mendukung keanekaragaman
pemahaman keagamaan dan hidup dalam pluralitas masyarakat manusia. Artinya
bahwa, neo-sufisme berupaya untuk menampung berbagai paham yang berkembang. Mereka
tidak menutup diri dari perkembangan dunia dan peradaban manusia, tetapi justru
sangat menekankan pentingnya pelibatan diri didalam masyarakat secara intensif.[6]
Neo-sufisme
secara singkat dapat dikatakan sebagai upaya penegasan kembali nilai-nilai Islam
yang utuh, yakni kehidupan yang berkeseimbangan dalam segala aspek kehidupan
dan dalam segala segi ekspresi kemanusiaan. Dengan alasan ini pula dapat
dikatakan bahwa yang disebut neo-sufisme itu tidak seluruhnya barang baru,
namun lebih tepat dikatakan sebagai sufisme yang diaktualisasikan dalam
kehidupan pribadi dan bermasyarakat sesuai dengan kondisi kekinian. Dengan
menukil rumusan Nur Kholis Majid yang mengatakan, bahwa neo-sufisme adalah
sebuah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup
aktif dan terlibat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Neo-sufisme mendorong
dibukanya peluang bagi penghayatan makna keagamaan dan pengalamannya lebih utuh
dan tidak terbatas pada salah satu aspeknya saja, tetapi seimbang.[7]Dengan konsep tasawuf yang
berdasarkan tiga prinsip:
1.
Mengacu pada normativitas Al-Qur’an dan As-sunnah
2.
Menjadikan Nabi dan para salaf ash-shalihin
sebagai panutan dalam aplikasinya, dan
3.
Berprinsip
pada sikap tawazun dalam Islam (penghayatan keagamaan batini yang
menghendaki hidup aktif dan terlibat
dalam masyarakat sosial).[8]
C.
Peran Dan Harapan Neo-Sufisme
Banyak problem yang di derita manusia modern salah satunya adalah
kehilangan visi metafisis dan kehampaan makna hidup. Dunia modern telah menutup
rohani penghuninya dari visi ketuhanannya, sehingga manusia kehilangan pegangan
yang dapat diandalkan ketika suka dan duka. Lalu, produk-produk dunia modern
yang disangka manusia dapat mengekalkan kebahagiaannya ternyata hanya
menawarkan kenikmatan semu, sehingga menimbulkan kekecewaan yang
berkepanjangan. Kekecewaan pada
produk modern lalu berlanjut dengan berbagai perasaan yang tak menyenangkan,
seperti munculnya rasa hampa, sepi, terasing dari dunia, khawatir menghadapi
masa depan, dan seterusnya.[9]
Ada dua
pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab sebelum sampai pada bagaimana
peranan Neo-sufisme dalam konteks kekinian, terutama dalam menanggulangi krisis
spiritual. Pertama, mengapa krisis spiritual itu dapat menurunkan martabat
manusia dan bahkan mengancam peradaban dan eksistensi manusia itu sendiri?
Kedua, mengapa manusia modern terkena krisis spiritualitas?[10]
Pertama kita
menjelaskan tentang substansi manusia dengan ini kita dapat mngetahui pokok yag
harus terpenuhi demi terwujudnya manusia yang sempurna. Secara teologis,
manusia adalah makhluk Allah. Ia adalah ciptaan-Nya yang ditunjuk sebagai
hambanya dan kholifahnya dimuka bumi. Manusia
diciptakan oleh Allah dari tanah liat. Allah berfirman:
Suarat as-sajadah ayat 7
الَّذِي
أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.”
Surat shaad
ayat 71
إِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِين
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah".”
Disamping jasad, manusia memiliki
roh. Allah berfirman:Surat Al-hajr ayat 29
فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
“Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Ayat ini
menunjukkan adanya hubungan langsung dan erat antara roh dan Allah sehingga
menunjukkan bahwa unsur roh yang ada dalam diri manusia memiliki hubungan langsung dengan Allah. Itulah sebabnya
(spiritual) merupakan unsur terpenting dalam pribadi manusia. Sejalan dengan
Al-Qur’an, para filisofis Islam mengakui
bahwa manusia itu tersusun dari elemen materi dan immateri. Kedua elemen ini
merupakan hasil emanasi Tuhan. Melelui unsur immateri yang ada dalam dirinya,
manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah. Karena itulah unsur spiritual
yang dimiliki oleh manusia menempati posisi yang sangat penting, sebab ia
merupakan jalur penghubungan antara manusia dan Tuhan. Krisis spiritual juga
akan menurunkan martabat manusia sejajar dengan martabat materi hewani. Karena
unsur spiritual itu memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia,
krisis spiritual bagi manusia menyebabkan terjadinya berbagai penyakit jiwa
yang menimbulkan berbagai kemudhorotan, baik
bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ini adalah jawaban pertanyaan
pertama. Kedua, problem spiritual bagi manusia modern adalah merupakan hal yang
tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Bagi orang modern perbedaan roh dan
jasad hanya dalam logika tidak dalam realitas. Oleh karena itu manusia modern telah
kehilangan keyakinan metafisik dan eskatalogis diganti dengan ide-ide
materialisme. Sebab manusia modern akhir dari eksistensialisme yang hanya
mengakui eksistensi manusia manakala manusia tersebut sudah merdeka dan dia
merdeka kalau menjadi ateis. Maka dari itu manusia modern mengalami krisis
spiritual. [11]
Setelah diketahui penyebab terjadinnya krisis, selanjutnya peran
Neo-sufisme dalam menanggulangi krisis spiritual yaitu, yang telah dikonstruk
oleh Fazlur Rahman sebagai tasawuf model salafi. Berdasarkam acuan normative Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menjadikan
Nabi dan para salaf ash-shalihim sebagai panutan adalam aplikasinnya, dalam
proses menjalankan spiritualisasi ketuhanannya. Yaitu dengan mengeliminasi
unsure mistik-metafisk dan asketik dalam tasawuf serta unsur-unsur heterodoks
asing lainnya, dan digantikan dengan doktri-doktrin yang bernuansa salaf yang quranik-normatif.
Doktrin yang
dimaksud untuk menjadikan tasawuf mampu berperan dalam konteks sosial kemasyarakatan.
Karena banyak problem, yang berkembang di tubuh tasawuf kini, maka dari itu harus diperbaruhi agar
tasawuf sebagai bagian dari keislaman dapat memberikan kontribusi positif
terhadap kehidupan masyarakat muslim dalam berbagai bidang kehidupannya.
Unsur dasar
Neo-sufisme adalah sifat kehidupan
manusia yang senantiasa berubah.
Artinnya, kontek kehidupan tasawuf pada abad lalu berbeda dengan konteks
kekinian. Karena masyarakat manusia realitas yang senantiasa berubah dan
mencair. Oleh karena itu, perubahan masa kini harus disikapi dengan pola yang
baru pula. Tasawuf yang dipraktekkan dalam masa kini harus dengan memperhatikan bahwa masalah
kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari kearagaman sufi.
Tujuan yang dapat dicapai tetap sama, yaitu ketenangan, kedamaian, dan
kebahgiaan intuitif, dan bukan untuk individu saja tapi untuk kesalehan sosial.[12]
Untuk
menghasilkan gagasan Neo-sufisme ini, kelihatannya harus diikuti dengan
peletakan formulasi ajaran dan sistem pembinaan menuju sufi yang jelas dan
terarah. Sufisme terdahulu digemari banyak orang, adalah karena kejelasan nilai
dan sistem yang ditawarkan, sehingga orang dengan mudah dapat meyakini sebagai
pilihan yang terbaik. Kalau demikian, untuk menempatkan Neo-sifisme sebagai
alternatif terakhir dan terbaik dalam upaya mewujudkan Islam sebagai Rahmatan
lil’alamin, maka gagasan ini harus dikongkritkan dalam bentuk pola ajaran dan
pola pembinaan, menuju terciptanya insan “ sufi masa kini”. Realisasi ide ini
kelihatannya tidak sulit, karena cukup dengan menginterpretasi dan
reaktualisasi nilai dasar sufisme terdahulu sesuai dengan konteks kekinian.
Sebab, nilai dasar yang sufisme terdahulu, nampaknya tetap releven untuk diaktualkan.
Yang perlu dilakukan adalah memformulasikan ulang hal-hal yang bersifat
instrumental saja, sedangkan aktualisasinya bisa diselaraskan dengan tantangan
dan peluangnya.[13]
III.
KESIMPULAN
Iintisari tasawuf terdahulu yaitu membangun
jalan bebas hambatan menuju Allah sehingga ia dapat bertatap muka dengan yang Al-Haqq.
Lintasan yang ditempuh menempuh beberapa tahap dan berujung pada pengalaman
spiritual yang adi dan asri, yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan
yang memiliki tingkatan kebenaran mutlak, karena diperoleh langsung dari Yang
Maha Benar. Oleh karena itu keinginan yang berlebihan itu menyebabkan mereka
menempatkan syari’ah dibawah kendali sufisme, sebab menurut konsepsi ini, untuk
dapat sampai pada tingkat “al-kasyf”, hanya dapat ditempuh melalui kontemplasi
dengan aturan dan perangkat amalan yang menuntut”kebebasan” dari hukum formal
syari’at.
Neo-sufisme merupakan pembaharuan tasawuf,
yang mampu menyeimbangi antara aspek spiritual dengan masyarakat. Yang mempunyai
ide memperpanjang harapan terciptanya kehidupan yang seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Siregar,Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta:Raja
Grafindo Persada,2002.
Ali,Yunasril. Sufisme dan Pluralisme.Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2012.
Rifa’i, Bachrun dan Hasan Mud’is.Filsafat Tasawuf.Bandung: CV Pustaka Setia,
2010.
Rozak, Abdul. Filsafat Tasawuf. Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar