TAREKAT QADIRIYAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Tarekat”
Dosen pengampu:
Dr.A.Halil Thahir,MHI.
Disusun oleh:
Mochammad Misbahul Munir (933600214)
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI AKHLAK TASAWUF
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
A.
Latar Belakang
Tumbuhnya tarekat dalam Islam
sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak
Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi
Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan
tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari
masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust
dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam
menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian
disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra.
sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan
sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga
tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang
merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi
Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.
A.
Pembahasan
1. Sejarah
Tarekat Qodiriyah
Ibunya seorang perempuan yang
shalehah bernama Fathimah binti Abdullah al-Shama’i al-Husaini keturunan
Rasulullah Saw. Ketika melahirkan Syekh Abd Qadir jilani ibunya berumur
60 tahun. Suatu kelahiran yang tidak lazim bagi wanita yag seumurnya. Ayahnya bernama Abu-Shalih, jauh sebelum kelahirannya ia
bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang diiringi oleh para sahabat, imam
mujahidin, dan wali.
Nabi Muhammad berkata kepada Abu
Shalih,”wahai Abu Shalih” Allah akan memberi anak laki-laki, anak itu kelak
akan mendapat pangkat yang tinggi dalam kewalian sebagaimana halnya aku
mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan. Syekh Abd Qadir jilani
menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi (sultonul awliya) pemimpin para
wali yang sering disebut quthub al-awliya atau wali quthub.
Nama lengkap dan silsilah Syekh
Abd Qadir jilani sampai ke Nabi Muhammad Saw adalah Abu Muhammad Abd al-Qadir
Jilani ibn Abi Shalih ibn Musa ibn Janki Dusat ibn Abi Abdillah ibn Yahya
al-Zahid ibn Muhammad ibn Daud ibn Musa ibn Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan
al-Musanna ibn Hasan al-Sibthi ibn Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra
al-Bathul binti Rasulallahi Saw.
Keutamaan Syekh Abd Qadir sudah
tampak semenjak bayi, ia tidak mau menyusu disiang hari kepada ibunya selama
bulan ramadhan, begitu juga dengan kejujurannya Syekh Abd Qadir, sudah terlihat
semenjak usia balita. Disamping itu karena penghormatan
yang sangat tinggi kepadanya menimbulkan cerita-cerita kekeramatan yang sangat
luat biasa. Namun tidak dapat dipungkiri akan ketinggian ilmunya dan kekuatan
pengaruhnya. Kepribadiannya yang sangat menarik, artikulasi bahasa yang bagus
menjadikan ia tokoh yang sangat dihormati dan dikenang sepanjang zaman. Dalam
bidang hukum islam, beliau lebih cenderung pada mazhab Hambali, sedangkan
pemikiran kalamnya lebih keliatan warna teologi Asy’ari.[1]
Selama 25 tahun Abdul Qadir
Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan
akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu
dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya
Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214
M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603
H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus
berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang
tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah
berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15
M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga
mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631
M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah
sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat (thariqah) secara harfiah
berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan
menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati
ajaran-ajaran-Nya.
Semua perkataan yang berarti
jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka
berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan
melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam
perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua
yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran
esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk
orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang
bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar
dimengerti.
Oleh sebab itu mengamalkan
tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang
mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat
sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw,
sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal
luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia
berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu
seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang
sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan
Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya
tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah
di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah
(1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M),
Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat
Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah.[2]
2. Ajaran
dan Praktik
a.
Aspek
Ajaran
Pada dasarnya Syaikh ‘Abd
al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan jaran pokok islam,
terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah
seorang yang sangat menghargai para pendiri mazhab fikih yang empat dan teologi
Asy’ariyah. Bahwa dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.
Suatu hari Syaikh berkata kepada
para sahabtnya, “Kalian jangan berbuat bid’ah. Taatlah kalian, jangan
menyimpang. “Ucapannya yang lain: Jika padamu berlaku sesuatu yang telah
menyimpang dari batas-batas syariat, kethuilah bahwa kalian dilanda fitnah,
syetan telah mempermainkanmu. Maka kembalilah kepada hukum syariat dan
berpeganglah, tinggalkan hawa nafsu karena segala sesuatu yang tidak dibenarkan
syariat adalah batil.
Ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir
selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia
memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi.
Adapun beberapa ajarannya yaitu taubat,zuhud,tawakal,syukurridha dan jujur.
Adapun ajaran spiritual Syaikh
‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannya akan Tuhan.
Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun abstraksi logis,
melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh
pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Yang artinya Ia
selalu merasakan bahwa Tuhan senantiasa hadir.
Kesadaran akan kehadiran Tuhan di
segenap ufuk kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi kebangunan hidup
yang aktif sekaligus memberikan nilai transeden pada kehidupan. Nasihat
Rasulullah dalam hadis, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan
jika engkau tak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa ia melihatmu,”
merupakan semboyan hidupnya, yang diterjemahkan dalam praktik kehidupannya
sehari hari.
Dalam khotbahnya Ia menggambarkan
keluasan kesadarannya akan kehadiran Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini
bahwa kesadaran ini membersihkan dan memurnikan hati seorang manusia, serta
mengakrabkan hati dengan alam roh.[3]
b.
Aspek
Praktis
Di antara praktik spiritual yang
diadopsi oleh Tarekat Qadiriyah adalah zikir (melantunkan asma’ Allah secara
berulang-ulang). Zikir dengan satu gerakan dilaksanakan dengan mengulang-ulang asma’Allah
mealui tarikan nafas panjang yang kuat seakan dihela dari tempat yang
tinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan
sehingga napas kembali normal. Hal ini harus diulang seacara konsisten untuk
waktu yang lama.
Zikir adalah cara yang paling
tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah,maka tarekat Qodiriyah menurut ulama
sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho
dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui
hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian
diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan
kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras
(dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh
Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat
Qodiriyah.
Zikir dengan dua gerakan
dilakukan dengan duduk dalam posisi sholat, kemudian melantunkan asma’ Allah
di dada sebelah kanan, lalu dijantung, dan kesemuanya dilakukan
berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap efektif untuk
meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran yang kacau.
Zikir dengan tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang
pembacaan asma’ Allah di bagian dada sebelah kanan, kemudian di sebelah
kiri, dan akhirnya di jantung.
Kesemuanya ini dilakukan dengan
intensitas yang lebih tinggi dan pengulangan yang lebih sering. Sementara itu,
zikir empat gerakan dilakukan dengan duduk bersila, dengan mengucapkan asma
Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian di sebelah kiri, lalu
ditarik ke arah jantung, dan terakhir di baca di depan dada. Cara terakhir ini
di harapkan dapat dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik zikir ini dapat dilakukan
bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan, sambil duduk membentuk
lingkaran setelah shalat, pada waktu subuh maupun malam hari. Jika seorang
pengikut sanggup melantunkan asma Allah empat ribu kali setiap harinya,
tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah memiliki
kualifikasi untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.
Selain itu dalam setiap selesai
melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan
membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali,
Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar
shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada
kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari
perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan
diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi,
menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah
tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan
terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Setelah melakukan zikir, tarekat
menganjurkan untuk melakukan apa yang disebut sebagai pas-i anfas, yakni
mengatur napas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan
nafas, asma Allah bersirkulasi dalam tubuh secara otomatis. Kemudian
ini, diikuti dengan muraqabah atau kontemplasi. Dianjurkan untuk
berkonsentrasi pada sejumlah ayat al-qur’an atau pun sifat-sifat ilahiah
tertentu hingga sungguh-sungguh terserap ke dalam kontemplasi.
Zikir adalah kunci dan sekaligus
menempati posisi yang amat penting dalam tradisi tarekat, termasuk Tarekat
Qadiriyah karena zikir bagaikan anak kunci yang mampu membuka pintu gerbang
dunia spiritual yang terbatas. Apabila pintu hati telah terbuka, muncullah dari
dalamnya pikiran-pikiran yang arif untuk membuka mata hati.
Ketika mata hati telah terbuka,
maka tampaklah sifat-sifat Allah melalui mata hati itu. Kemudian mata hati itu
akan melihat refleksi (bayangan) kasih sayang, kelembutan, keindahan, dan
kebaikan Allah, dalam cermin hati yang bersih dan berkilauan. Membaca zikir
atau wirid Asma Allah merupakan cara dalam pembersihan diri untuk mencapai
sifat Allah, yakni bersifat dengan sifat-sifat yang mulia sehingga dapat
mencapai derajat insan kamil.
Adapun seseorang yang akan
memasuki Tarekat Qadiriyah, di samping perlu mempersiapkan pembersihan diri
sejak awal, setidaknya dia harus menempuh dua fase, yaitu:
Fase
pertama,
di awali dan diakhiri dalam satu kali pertemuan. Jika dikerjakan dengan
sungguh-sungguh, memakan waktu tidak tidak lebih dari setengah jam. Fase ini
memilki beberapa tahapan, antara lain:
a)
Pertemuan
pertama antara murid dan syaikh. Dalam pertemuan ini dilakukan beberapa
keharusan, seperti perjanjian, taubat, permohonan ampun kepada Allah, taat, dan
zikir.
b)
Wasiat,
berupa pesan-pesan syaikh kepada sang murid untuk diamalkan. Pesan-pesan
tersebut antara lain: menanggung derita, pemaaf, tidak menyakiti saudara,
bersungguh-sungguh mengekang hawa nafsu, menghindari kedengkian, iri hati,
dusta dan perbuatan-perbuatan keji lainnya. Dan memelihara wudlu, beristighfar,
dan mengucapkan shalawat Nabi.
c)
Baiat,
yang berarti sang murid diterima memasuki ajaran tarekat. Pada saat ini syaikh
mengatakan: “Aku telah menerimamusebagai murid, aku telah membaiatmu atas
penerimaan ini.
d)
Doa
dari syaikh yang dibacakan di hadapan sang murid. Doa tersebut mempunyai dua
corak, yaitu :
-
Umum
:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مُهْتَدِيْنَ
غَيْرَ ضَالَّيْنَ وَلاَمُضِلِّيْنَ سَلِيْمًا لأَوْلِيَائِكَ وَعَدْوًا لِأَعْدَائِكَ,
مُحِبًّا بِحُبِّكَ مَنْ أَحَبَّكَ, وَنُعَادِى بِعُدْوَاتِكَ مَنْ خَالَفَكَ, اَللَّهُمَّ
هَذَا الدُّعَاءُ مِنْكَ وَعَلَيْكَ الإِجَابَة وَهَذَا الْجُهْدُ وَعَلَيْكَ التَّكْلاَنُ
وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّبِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
-
Khusus :
اَللَّهُمَّ كُنْ بَرًّا رَحِيْمًا جَوَّدًا كَرِيْمًا,
اَللَّهُمَّ دُلْهُ بِكَ إِلَيْكَ, اَللَّهُمَّ خُذْهُ مِنْهُ, اَللَّهُمَّ افْتَحْ
عَلَيْهِ فُتُوْحَ الأَنْبِيَاءِ وَاْلأَوْلِيَاءِ بِجُوْدِكَ وَرَحْمَتِكَ وَكَرَمِكَ
يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى جَمِيْعِ
اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى اَلِهِمْ وَصَحْبِهِمْ أَجْمَعِيْنَ
e)
Segelas
minuman untuk sang murid oleh syaikh dengan dibacakan penggalan ayar al-Quran:
Kemudian syaikh membaca surat
al-Fatihah dan al-Ikhlas tiga kali, lalu syaikh memberikan gelas yang berisikan
minuman tadi untuk diminumkan ke sang murid. Setelah selesai fase pertama ini,
sang murid telah resmi menjadi anggota dan berkewajiban mengikuti ajaran syaikh
yang telah mengambil sumpah darinya.
Fase
kedua,
sang murid memasuki tahapan perjalanan menuju Allah dengan bantuan syaikh untuk
membimbingnya dan menyertainya selama proses perjalanan. Fase ini dapat memakan
waktu bertahun-tahun. Hal itu akan berakhir ketika sang murid telah nyata-nyata
mandiri dari bantuan gurunya, ia akan dianugerahi “ijazah” sebagai bukti
keluhuran jiwanya. Pada saat itulah ia diakui dan sah menjadi bagian dari para
syaikh.[4]
B. Kesimpulan
Tarikat Qadariyah yang didirikan oleh Syeikh
Abdul Qadir Jaelani memiliki kontribusinya besar terhadap spiritualitas Islam
memang amat penting. Ia mendirikan suatu gerakan yang amat kuat dalam membentuk
budaya spiritual Islam sampai saat ini.
Kajian tarekat dalam dunia islam adalah sebuah
upaya dan proses yang terus-menerus, berkesinambungan, sejak kelahirannya
hingga saat penulisannya sekarang. Tarekat Qadiriyah misalnya sejak abad ke-12
Masehi, saat pendirinya hidup hingga sekarang, di Indonesia dan di
tempat-tempat lain orang masih menyelenggarakan manakib Syekh Abd al-Qadir
al-Jailani. Kekhasan tarekat ini masih survive sebagai tarekat pelopor, yaitu
pengucapan dzikir Jahar bahkan menjadi bagian/dasar dari sebagian tarekat yang
lahir kemudian.
Kemunculan tarekat di Indonesia sejalan dengan
perkembangan islam di Negara-negara muslim lainnya. Perkembangan tarekat di
Indonesia muncul karena dibawa oleh para syaikh yang tadinya berguru di Mekkah
setelah mendapat ijazah dari para gurunya, mereka pun mulai mengajarkan system
tarekat di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
https://yanamadyana07.wordpress.com/2013/01/05/tarekat-qadiriyah/
Wulyati Sri. 2004. Tarekat-Tarekat
Muktabarah. Jakarta: kencana. 36-37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar